Segumpal
rasa takut ini tidak bisa begitu saja retak dan hancur hanya dengan
sebuah kata hiburan atau seuntai kata motivasi dari orang yang belum
bear-benar memahami perasaan ini. Tentu saja mereka tidak akan dengan
mudah merasakan apa yang ku rasa. Kala senja ini aku perlahan mulai
merasa semakin kurang dapat melihat indahnya bunga, semerbaknya wangi
bunga dan sedapnya rasa makanan.
Aku terigat pada Murni. Dia adalah wanita sempurna, yang masih
ada utuh di relung hatiku. Aku megusap bingkai berisikan fotoku dengan
Murni. Ia terlihat anggun di foto abu-abu yang sudah tergantug kurang
lebih empat puluh tahun di kamarku. Setiap aku terjaga dari lelapku, aku
akan menemukan wajah ayunya menyapaku dengan kehangatan yang
dipancarkan hanya dengan senyuman manis fotonya. Cintaku padanya, abadi.
Ini bukan rayuan gombal seperti pada saat aku dulu menggodaya pertama
kali bertemu di sebuah jalan setapak yang meghubugkan kampungku dan
kampungnya. Aku akan tersenyum mengingat semuanya.
“Murni, aku harap kau akan menungguku di sana,” bisikku pelan “apakah kau merindukanku, Murni?”
Murnilah
yang selama ini menemaniku. Ia juga yang melahirkan dan mengasuh anak
kami yang kini telah menjadi orang sukses dengan tulus.Anak kami bernama
Duma, kini tentu saja ia sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin inilah
karma, karena dulu Duma lebih banyak menghabiskan waktu bersama Murni,
ibunya, bukan aku. Aku terlalu giat mencari nafkah, hingga aku hampir
melupakan Duma. Tapi tidak apa-apa, aku tetap bersyukur sudah memiliki anak sepertinya.
Aku
membuka sebuah kotak kayu kecil dengan pahatan sederhana yang membuatya
menjadi cantik. Itu ku pahat sendiri dan ku berikan hanya untuk Murni.
Saat itu Murni menggunakannya untuk menyimpan setumpuk surat-surat
penting, termasuk di antaranya surat dariku. Murni memang wanita yang
luar biasa. Ia bisa membuatku begitu memahami perwujudan cinta. Lama ku
membuka lembar demi lembar surat-surat berkertas lusuh itu, hingga aku
mendapatkan sebuah kertas yang sugguh sudah sangat rapuh. Tulisannya
sudah menjadi coklat nyaris tidak dapat di baca.
Aku
meraba kepalaku. Mencari kacamata yang biasanya ada di atas kepalaku.
Tapi tidak ku temukan. Aku harus mencari kacamata itu. Aku sungguh ingin
membaca surat ini. Tanpa kacamata, aku tidak akan bisa.
“Mukhlis,” mungkin
ia tau. Mukhlis adalah seorang remaja yang dengan sabar menemaniku
setelah jasad Murni tidak lagi kuat menunggangi berbagai peyakit. Ia di
minta Duma untuk menemaniku. Mukhlis sudah ku aggap cucuku. Mungkin,
anak sulung Duma kini sudah sebesar Mukhlis. Tapi sayang, Duma jarang
mengantar anak sulungnya untuk menemuiku di sini. Mukhlis sangat cekatan
dalam segala hal, ia seperti masa mudaku, bersemangat dalam segala hal,
dan ia akan sangat cepat datang ketika aku memanggilnya “apa kau melihat kacamataku?”
“Kacamatanya sudah Mbah pakai, sebentar Mukhlis perbaiki.”
Aku
tertegun. Ini yang ku takutkan. Karena bagaimanapun, aku akan ada pada
masa di mana aku melupakan semua, aku akan melalaikan apa yang ku punya.
Aku akan semakin renta hingga kemudian akan tumbang dengan sendirinya.
Namun, itulah hidup.
“Terimakasih, Cu.”
“Apa perlu Mukhlis bacakan Mbah?” tayanya. Aku terdiam. Tulisan itu memang terlihat remang. Kertasnyapun bergetar karena tremor[1] di tanganku membuatku sulit membaca tulisan-tulisan itu. Aku mengangguk, setelah aku yakini aku membutuhkan semua.
“Ini adalah surat Mbah Kakung untuk almarhum Mbah Putri, jadi baca baik-baik, dengan perasaan.”
“Nona Manis di kampung sebrang...” Mukhlis mulai membaca tulisanku, “Ini
ku berikan bersamaan dengan seberkas perasaan yang membuatku mampu
menahan kantukku hanya untuk mengingatmu. Hai Nona, siapa gerangan
dirimu? Nan bercahaya bagai lentera penghias hatiku.
Nona, adakah hatimu sudah termiliki? Masih adakah kesempatanku untuk memilikinya?”
Aku
melihat besitan senyum dari mulut anak remaja di hadapanku. Tentu saja,
masanya kini adalah masa seperti yang sedang ku alami saat menulis
surat itu untuk Murni. Masa pengenalan cinta.
“Mbah,
usia berapa Mbah menikah?” pertanyaan yang sama pernah ku lontarkan
pada ayahku dulu saat aku ingin meminang Murni. Aku berusaha
mengingatnya. Aku tidak bisa megingatnya lagi, kepala ini tidak akan
menemukan jawaban segiat apapun ia berusaha mengingat.
“Mbah
lupa, tapi Mbah dulu masih sangat tampan. Bahkan kau kalah denganku
dulu.” Aku menjawab seadanya. Mukhlis terseyum. Duma memang anak baik,
ia tidak salah orang untuk merawatku. Walaupun sebenarnya, aku sungguh
merindukan Duma membawa serta cucu-cucuku untuk menemai masa senja,
sebelum akhirnya malam tiba dan aku tidak ada lagi bersama mereka.
***
Duma
adalah hadiah yang berharga, ia begitu membuatku dan Murni menangis
bersyukur. Saat tangisnya pecah riuh terdengar. Hatiku tak henti
mengucap syukur. Berbagai nama telah ku persiapkan dengan berjuta makna
untuk bekal masa depannya. Kumandang adzan ku perdengarkan di telinga
kanannya agar ia selalu mengingat Allah dan taat beribadah. Begitu pula
saat ia tumbuh, aku dan Murni tidak akan melewati mengamati masa
pertumbuhannya.
Aku
melihat sebuah bingkai yang terpaku di dinding kamarku, aku beranjak
bangun dari kursi beroda pemberian Duma. Tidak akan mampu ku raih foto
itu bila aku tetap duduk. Tapi kakiku begitu lemas. Saat menopang
tubuhku, aku merasakan ketidak berdayaan yang teramat. Akhirnya, aku
tersungkur mencium lantai.
“Mukhlis, tolong,” aku berusaha bangkit, tapi usahaku tidak membuahkan hasil.
“Ya ampun Mbah. Mbah tidak apa-apa, toh? Ada yang bisa Mukhlis bantu?” Mukhlis terlihat begitu khawatir, ia membantuku kembali duduk di kursi rodaku.
Aku
menggeleng. Aku mengendurkan niatku meraih bingkai foto itu. Sebuah
bingkai berisikan foto Duma saat ia masih kecil. Seandainya di sini ada
Duma. Aku akan memintanya membantuku untuk kembali dapat berjalan. Sejak
aku terjatuh dan tidak bisa berjalan, ia nyaris tidak pernah menemuiku.
Aku teringat, saat Duma baru mulai belajar berjalan, aku akan
mentitahnya, dan ku ajak keliling kampung. Sebentar-bentar, akan ada
tetangga yang dengan gemas mencubit pipinya yang tembam menggemaskan.
Mungkinkah, suatu hari nanti ia datang untuk mengajariku berjalan
kembali?
Tidak
terasa aku meneteskan air mata. Tidak kuasaku menahan rasa rindu ini.
Sudah lama punggung tangan ini tidak di cium. Terakhir, tiga bulan lalu,
saat ia mengambil berkas-berkasnya yang tertiggal untuk mendaftarkan
anak sulugnya ke SMA. Ia mencium tanganku untuk berpamitan pulang.
“Semoga
kau dan keluargamu selalu dalam lindungannya, Nak.” Ketika aku
mengucapkan sebuah doa, rasa rindu itu perlahan akan meluntur. Aku
percaya, Tuhan akan senantiasa menjaganya dalam segala keadaan.
***
“Ayah bangun! Mengapa kencing di celana, sih! Seperti anak bayi saja!”
aku terbangun ketika ada bentakan keras. Suara Duma. Ya, Duma datang!
“Duma, kau datang, Nak?”
“Ganti
celana dulu, Yah. Jangan menemui Prita dan Clara dalam keadaan seperti
ini,” Duma menunjuk celanaku yang basah kuyup karena kencingku.
“Biar,
Mukhlis bantu, Mbah.” Mukhlis yang mendengar mendekatiku. Sementara
Duma keluar dari kamarku dengan menutup hidungnya dengan sapu tangan, ia
terlihat sangat jijik dengan perbuatan memalukan yang tidak ku sadari
itu.
“Nak,
sehina itukah aku? Dulu, aku yang membersihkan kotoranmu. Aku yang
mencucinya. Bantu aku, Nak. Mengapa harus Mukhlis? Salahkah aku
mendidikmu?” ucapku dalam hati. Aku berusaha menahan kekecewaanku. Mungkin Duma sedang sensitif karena pekerjaannya yang menumpuk.
“Duma,”
panggilku setelah aku merasa sudah layak bertemu dengannya. Duma yang
sedang menerima telepon tidak menggubris panggilanku. Yang datang haya
Clara, anak bungsunya yang baru mulai bisa berjalan menghampiriku. Aku
memeluknya, erat sekali. Ini kali pertama aku memeluk erat cucuku. Cucu
sulungkupun tidak pernah ku dekap. Duma selalu melarangnya datang
menemuiku, karena alasan kesehatannya tidak baik, sehingga tidak boleh
berjalan jauh. Alasan klise yang
tidak masuk di akal. Seandainya, mereka sejenak saja ada di dekatku. Aku
ingin saat itu juga mati, aku igin pergi di tengah kehangatan
keluargaku.
“Prita,
bawa Clara masuk ke mobil. Kita akan pulang.” Duma memasukkan telepon
genggamnya ke dalam saku celananya dan meminta istrinya untuk bergegas
pergi. Mimpi indah ini akan segera berakhir. Begitu cepat. Aku masih
ingin memeluk Clara, aku masih ingin bercerita banyak dengan Duma.
“Bermalam di sini saja. Kasihan Clara...” aku berusaha menahan Duma.
“Kami
masih banyak pekerjaan. Jangan manja, Yah. Kami haya mampir sebentar
untuk memberi Mukhlis gaji dan uang bulanan untuk Ayah.” Jawaban Duma
membuat dadaku nyeri. Hanya untuk itu? Apakah kau tidak merindukanku,
Nak? “Duma...” Tidak
mungkin lagi aku berkata-kata tegas untuk memarahinya. Ia sudah dewasa
untuk memahami semua. Ia juga kini sudah menjadi ayah dan harus mejalani
kewajibannya.
“Ayah, aku pamit pulang. Mukhlis, jaga Ayah baik-baik. Kalau uang untuk keperluannya habis segera hubungi saya.”
Aku tau, Duma sebenarnya anak yang baik. Ia masih memikirkanku. Walaupun tidak secara langsung, aku tau ia mengkhawatirkanku.
“Hati-hati,
Nak.” Ucapku pelan karena Duma sudah terlanjur masuk ke mobilnya dan
kembali pergi. Hari ini aku kembali sendiri. Mukhlis menghapus air
mataku. Aku tertegun.
***
Malam
sudah sangat larut. Tiba-tiba, tenggorokanku terasa sangat kering.
Badanku sulit ku gerakkan. Dadaku sesak dan sangat sakit, kepalaku
berat. Inginku berteriak memanggil Mukhlis. Tapi, aku tak mampu.
Berulang kali ku coba. Tapi gagal. Dadaku seperti terbakar, panas
sekali. Mungkin, ini adalah saat di mana mentari senjaku akan terbenam
dan berganti dengan malam yang semoga akan menenangkan. Semakin lama,
dadaku semakin sakit, nafasku sesak terhimpit. Semua tidak lama, aku
merasa tubuhku begitu ringan setelah itu.
“Murni,
sebentar lagi aku akan bersamamu... Kekal abadi, selamanya,
meninggalkan semua kepenatan yang ku temui di penghujung hidupku....”
Dengan senyuman aku pergi, aku merasakan ketenangan yang tidak ku
temukan di kala senjaku.
Selesai